Benih Cinta Sejenis | Sang Pakar
Kisah ini diawali dengan pendaftaran diriku di
Adult Friend Finder yang ada di internet. Aku mengetahui Adult Friend
Finder dari temanku yang terlebih dulu menjadi anggotanya. Alamat
homepage Adult Friend Finder ada di http://adult.friendfinder.com. Jika
ada pembaca yang ingin mencobanya, silakan. Aku mendaftarkan diriku
dengan gratis kok.
Setelah terdaftar di Adult Friend Finder dan
mengirimkan profilku ke mereka, aku memperoleh banyak respon dari
orang-orang yang menanggapi profil diriku tersebut. Dari sekian banyak
respond melalui e-mail tersebut, hampir semua berisikan surat-surat
gombal dari cowok-cowok. Ternyata hanya ada segelintir cewek yang
mengirimkan e-mail respond kepadaku. Satu di antaranya yang membuatku
tertarik adalah seorang cewek dari Indonesia juga. Dia tinggal di Bali.
Namanya Sinta. Usianya 30 tahun. Meskipun ia jauh lebih tua daripada
aku, tapi aku salut pada keberaniannya menghubungiku lewat e-mail.
Kemudian
aku membalas e-mail-nya ke alamat e-mail yang diberikannya kepadaku,
s…..@h…. Siapa tahu saja Mbak Sinta benar-benar serius dalam
menghubungiku. Eh, nyatanya, memang nasib sedang mujur, beberapa hari
kemudian datang e-mail balasan dari Mbak Sinta ke mailbox-ku. Ia
mengajakku ke tempatnya di Denpasar. Wah, kupikir, kan Denpasar jauh
dari Jakarta, kota tempat tinggalku. Lagipula, duit dari mana untuk
membiaya kepergianku ke Denpasar? Apalagi dalam masa krisis moneter
seperti sekarang ini? Ah, tapi sebaiknya kuhubungi Mbak Sinta aja.
Siapa tahu ia punya pemecahan atas ajakannya itu. Kebetulan dalam
e-mail-nya yang baru ini, Mbak Sinta mencantumnya nomor teleponnya.
Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi nomor telepon tersebut,
0361-2xxxxx. Wow, ternyata nyambung!
“Halo, selamat pagi.” Terdengar suara lembut seorang wanita di seberang sana.
“Selamat pagi. Bisa saya bicara dengan Mbak Sinta?”
“Ya, saya sendiri. Dengan siapa ini saya bicara?”
“Eh, Mbak Sinta. Ini Susi dari Jakarta!”
“Susi? A**** (edited) Susi H**** (edited)?” Mbak Sinta menyebutkan nama lengkapku.
“Bener, Mbak.”
“Kenapa, Sus? Kok tumben kamu telepon saya.”
“Begini,
Mbak. Mengenai ajakan Mbak ke Bali, sebenarnya saya mau aja. Tapi
masalahnya saya nggak punya biaya. Maklum lah, Mbak, lagi jamannya
krismon begini.”
“Mmm… Begini deh, Sus. Kamu datang aja ke tempat
saya. Untuk biaya pesawatnya kamu pinjam aja dulu dari siapa. Nanti
akan saya ganti deh, Sus.”
Dalam hati, aku girang bercampur
heran mendengar jawaban dari Mbak Sinta ini. Kok jaman sekarang ada
orang yang sebaik Mbak Sinta. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa
maksud Mbak Sinta mengajakku menjumpainya di Bali. Akhirnya kukatakan
kepada Mbak Sinta bahwa aku butuh waktu beberapa hari untuk memikirkan
hal ini terlebih dahulu. Namun kenyataannya, tidak sampai memakan waktu
berhari-hari. Sore harinya, aku memutuskan untuk memenuhi ajakan Mbak
Sinta. Setelah menelepon Mbak Sinta sekali lagi, lalu memesan tiket
pesawat ke Denpasar, aku pun berkemas-kemas. Dan, siaplah aku ke Bali
keesokan paginya.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam
lebih sedikit, akhirnya pesawat Garuda yang kutumpangi mendarat dengan
mulus di bandara Ngurah Rai, Denpasar. Setelah aku turun dari pesawat
dan tiba di terminal kedatangan, aku mencari-cari Mbak Sinta yang
katanya akan menjemputku setibanya di bandara. Akhirnya aku melihat
seorang wanita cantik yang berusia sekitar 30-an seperti Mbak Sinta.
Yah, mungkin saja dia benar-benar Mbak Sinta.
“Maaf, Mbak Sinta?” Aku bertanya kepada wanita itu. Ia tersenyum.
“Susi ya.” Ternyata ia benar Mbak Sinta. Ia menjabat tanganku.
“Bagaimana, Sus, perjalanannya?”
“Yah,
nggak kerasa, Mbak. Habis baru juga take off dari Cengkareng, belum
sempet nafas, sudah harus mendarat di sini.” Mbak Sinta tertawa
mendengar candaku.
“Yuk deh, Sus, kita makan dulu.”
“Oke deh, Mbak. Saya juga sudah lapar nih.”
Lalu
kami berdua pergi dengan mobil Mbak Sinta ke kota Denpasar yang
letaknya tak jauh dari bandara dan kami makan siang di sebuah restoran
terkenal di sana. Aku heran. Tampaknya hampir semua orang yang ada di
restoran tersebut mengenal Mbak Sinta. Mereka tersenyum dan menyapa
Mbak Sinta. photomemek.com Tetapi wajah mereka menunjukkan keheranan melihat aku yang
sedang bersamanya. Namun aku segera diperkenalkan oleh Mbak Sinta
kepada mereka. Ternyata orang Bali ramah-ramah juga ya.
Setelah
kenyang makan, kami berputar-putar sejenak mengelilingi kota Denpasar
yang padat dengan kendaraan itu. Akhirnya, jam tiga siang, kami pergi
ke tempat kediaman Mbak Sinta, tempat aku akan menginap selama di Bali.
Dan kami pun tiba di rumah Mbak Sinta. Tempatnya tidak begitu besar,
tapi resik dan tertata rapi.
“Sus, sekarang kamu istirahat dulu
aja. Sementara di kamar Mbak. Nanti akan Mbak siapkan kamar untuk kamu.
Mbak mau pergi dulu ya, ada pekerjaan. Jangan pergi ke mana-mana lho.
Nanti kamu nyasar.” Aku mengangguk. Setelah melepas kepergian Mbak
Sinta dengan mobilnya, aku membereskan barang-barang bawaanku dan
membawanya ke kamar Mbak Sinta.
“Ah, nyamannya berbaring di
spring bed berukuran double yang empuk ini, apalagi di kamar yang sejuk
berpendingin udara”, batinku saat kurebahkan tubuhku yang penat di atas
ranjang milik Mbak Sinta. Hhmm… Alangkah harumnya bantalnya. Beberapa
menit kemudian, saking lelah dan mengantuk, aku pun jatuh terlelap
tanpa sempat mengganti pakaian dahulu.
Wah, mungkin karena
begitu lelah setelah berjalan-jalan hampir seharian, tak terasa hampir
empat jam aku tertidur pulas tanpa gangguan. Jam dinding berdentang
tujuh kali saat aku bangkit dari tempat tidur. Langit sudah gelap, tapi
suasana rumah itu masih sepi. Ah, Mbak Sinta pasti belum pulang sejak
tadi siang. Ih, rasanya badan gatal nih belum mandi. Kulepaskan pakaian
luarku, sehingga aku hanya mengenakan BH dan celana dalam. Aku
membungkuk dan mencari-cari handuk, pakaian ganti, dan peralatan mandi
lainnya dari koperku. Ah, mana ya, sabun cair Biore yang kubawa. Ini
dia! Saat kuambil botol sabun cair itu, tiba-tiba ia mencelat dari
tanganku dan jatuh ke lantai masuk ke bawah meja rias Mbak Sinta. Sial,
umpatku. Lalu kujulurkan tanganku ke bawah meja rias untuk mengambil
botol sabun cair itu. Tapi tanganku tertumbuk sebuah benda seperti
sebuah buku. Kuambil benda tersebut dan tentu saja botol sabun cairku
juga dari kolong meja. Oh, ternyata album foto milik Mbak Sinta. Kenapa
ya, album foto bisa ada di kolong meja rias? Apa mungkin jatuh dan Mbak
Sinta tidak mengetahuinya?
Kutunda niatku untuk ke kamar mandi.
Kubuka satu persatu halaman album foto yang kelihatannya masih cukup
baru itu. Ya ampun! Aku terkejut. Kututup mulutku dengan tanganku
sewaktu aku melihat isi album foto tersebut. Ada foto di mana Mbak
Sinta telanjang bulat dan puting susunya sedang dikulum oleh seorang
pria yang tidak terlihat wajahnya. Kemudian di foto yang lain, Mbak
Sinta tampak sedang bersetubuh dengan seorang pria bule setengah baya.
Dan ada lagi beberapa foto lain yang gambarnya “seram-seram”. Misalnya
ada Mbak Sinta yang sedang dalam posisi 69 dengan seorang gadis bermata
sipit. Keduanya dalam keadaan bugil. Lalu ada lagi foto yang
menampakkan Mbak Sinta yang masih mengenakan pakaian dalam memasukkan
kelima jarinya ke dalam liang senggama seorang wanita Indonesia yang
kira-kira sebaya dengannya. Dan kuperhatikan, kesemua foto itu diambil
di tempat tidur yang sempat kutiduri tadi.
Astaga! Apakah Mbak
Sinta seorang…? Aku tidak mau melanjutkan prasangkaku itu.
Takut-takut nanti aku salah duga. Tapi foto-foto ini kan jadi buktinya.
Seketika itu juga, tubuhku serasa gatal sekali. Barangkali ini hanya
perasaanku saja setelah melihat foto-foto ini. Aku bergegas ke kamar
mandi. Setelah menanggalkan seluruh pakaianku. Kunyalakan shower, lalu
aku mandi di bawahnya sambil bernyanyi-nyanyi. Ah, sejuknya mandi
dengan air dingin saat tubuh lelah seperti saat ini! Karena derasnya
shower kunyalakan dan begitu kerasnya suara nyanyianku, sehingga aku
tidak mendengar suara mobil yang masuk ke pekarangan rumah Mbak Sinta
dan suara Mbak Sinta yang memanggil-manggilku, yang akhirnya masuk ke
dalam rumah menggunakan kunci cadangan yang selalu dibawanya ke
mana-mana.
Uh, segarnya tubuhku setelah mandi dengan puas
diguyur shower selama 15 menit. Kukenakan kaus oblong tanpa lengan dan
celana pendek warna-warni dari bahan katun. Aku kembali ke kamar tidur
Mbak Sinta.
“Heh, Mbak Sinta, sudah pulang. Kok saya nggak dengar sih?”
“Kamu sih mandi apa nyelam, Sus?” Aku tertawa.
“Sus,
kamu pasti sudah melihat ini?” sambung Mbak Sinta sambil menunjukkan
album foto yang tadi kulihat-lihat. Ya ampun! Aku lupa menaruhnya
kembali di tempatnya semula, di kolong meja rias.
“I… iya Mbak”, kataku takut-takut, kuatir kalau Mbak Sinta marah. Tapi Mbak Sinta malah tersenyum.
“Kamu
pasti sudah tahu sebenarnya saya ini apa dan siapa? Ya, benar, Sus.
Saya memang seorang wanita panggilan. Tapi jangan salah, saya bermain
cinta tidak pernah untuk uang, melainkan hanya untuk kesenangan dan
kepuasan seksual belaka. Jadi jangan samakan saya dengan pelacur yang
menerima bayaran atas servisnya. Saya sama sekali tidak pernah dibayar
oleh teman-teman tidur saya.” Aku mengangguk-angguk mendengarkan
penuturan Mbak Sinta. Hatiku sedikit miris mengetahui bahwa teman
baruku ini seorang wanita panggilan.
“Dan saya adalah seorang
biseks, Sus. Saya bisa bermain dengan pria maupun wanita, tapi saya
lebih suka dengan wanita, sebab lebih aman, dan biasanya sesama wanita
tidak terlampau saling menuntut.” Aku seperti tersedak karena pengakuan
Mbak Sinta ini. Batinku, apakah aku sekarang akan dijadikan salah satu
kekasih lesbian Mbak Sinta? Wah, celaka tigabelas. Jangankan lesbian,
berhubungan seks normal dengan laki-laki saja aku belum pernah. Aku
masih perawan.
“Memang, saya tertarik pada kamu setelah membaca
profil kamu di Friend Finder dan membaca seluruh isi e-mail dari kamu,
Sus. Saya belum pernah berhubungan dengan orang yang jauh lebih muda
seperti kamu. Jadi sekarang terserah kamu, Sus. Kalo kamu nggak mau ya
nggak apa-apa. Saya nggak akan memaksa kamu. Kita jadi teman biasa aja,
oke. Tapi perlu kamu tahu, Sus, saya telanjur suka sama kamu.”
Kupikir-pikir,
tidak ada salahnya aku mencoba-coba berhubungan dengan Mbak Sinta.
Lagipula karena sama-sama wanita, pasti lebih aman. Di samping itu kita
berdua sama-sama saling menyukai. Tapi bedanya, aku menyukai Mbak Sinta
ibarat seorang adik terhadap kakaknya. Sebaliknya Mbak Sinta menyukaiku
sebagai kekasihnya. Akhirnya dengan pelan, kuanggukkan kepalaku. Mbak
Sinta pun tersenyum. Ia mengulurkan tangan kanannya mengajakku mendekat
menghampirinya.
Aku dan Mbak Sinta duduk saling berhadapan di
atas ranjang. Wajah kita amat berdekatan. Dengan segera, Mbak Sinta
memagut bibirku yang merekah di depannya. Lidahnya mempermainkan
lidahku. putri77.com Aku pun membalas mengulum lidahnya dengan hangat. Terasa
sebuah perasaan aneh mengalir di sekujur tubuhku saat lidah kita saling
bersentuhan. Apakah ini yang dinamakan nafsu birahi? Sementara mulutnya
masih terus melumat bibirku yang ranum, tangan Mbak Sinta mulai
meluncur ke bawah ke arah dadaku. Ia menyingkapkan kaus oblongku ke
atas, sehingga tampaklah dua bukit indah mempersona di dadaku yang
berukuran rata-rata tetapi padat dan berisi tanpa tertutupi selembar
benangpun. Memang aku terbiasa di rumah setelah mandi sore tidak pernah
memakai BH untuk menyangga payudaraku.
Mbak Sinta menyuruhku
berbaring tertelentang di atas ranjang. Jari-jarinya yang lentik
menyusuri lekukan celah di antara kedua bukit kembar di dadaku.
Kemudian naik ke atas ke puncak salah satu bukit tersebut dan berhenti
di tonjolan kecil dikelilingi lingkaran coklat tua yang semakin tinggi
mengeras. Dengan ahlinya, Mbak Sinta memilin-milin puting susuku yang
semakin lama memang semakin menegang itu. Sementara tangan satunya
turun lagi ke arah bawah perutku. Dengan dua kali tarikan,
dipelorotkannya celana pendekku yang menggunakan tali kolor dan celana
dalamku.
Kini, terpampanglah kemaluanku yang ditumbuhi oleh
rambut-rambut tipis berwarna kehitaman yang masih segar. Melihat daerah
vitalku ini, Mbak Sinta semakin bergairah. Mulutnya yang kini tengah
menjilati kedua puting susuku secara bergantian, semakin bertubi-tubi
melumat pentil kenikmatanku itu. Puting susuku yang tinggi menjulang
itu habis dikulum oleh mulut Mbak Sinta. Gelitikan lidahnya pada ujung
puting susuku membuatku menggerinjal-gerinjal sembari mendesah-desah
kecil.
“Uuh… Mbak… Mbak Sin… Aahhh…” Rasa kenikmatan
menjalar sampai ke ubun-ubunku. Apalagi setelah lumatan mulut Mbak
Sinta berubah menjadi gigitan-gigitan kecil dan gemas pada puting
susuku. Lalu ia kembali menjilati dan sekali-kali mengisap dan menyedot
puting susuku dengan bunyi yang merangsang. Karena rangsangan yang
sedemikian hebatnya ini membuat puting susuku memerah keras dan
kurasakan ada cairan bening mengalir keluar dari lorong kewanitaanku.
“Ouuuhhh….”
Aku menjerit cukup panjang tatkala jari telunjuk tangan kanan Mbak
Sinta mempermainkan klitorisku yang terletak di bagian atas gerbang
kewanitaanku. Diusap-usapnya dengan penuh perasaan daging kecil
kemerahan tersebut. Semakin membuatku menaik-turunkan pantatku dengan
irama yang tak menentu. Dan kewanitaanku menjadi semakin basah dan
licin.
Lidah Mbak Sinta sekarang pun berpindah menyusuri setiap
bagian mulut liang kewanitaanku. Tak ada yang terlewatkan olehnya.
Dijilatinya pula daging kecil pembawa nikmat milikku. Kemudian lidahnya
dijulurkan masuk ke dalam lubang kenikmatanku hingga sampai sepertiga
lidahnya tertelan oleh liang kewanitaanku yang berdenyut-denyut,
mengerut dan mengembang. Dijilatinya dinding liang kewanitaanku itu
yang semakin lama semakin dibanjiri cairan kenikmatan.
Sekonyong-konyong, Mbak Sinta menghentikan kegiatannya. Tangannya
menggapai-gapai membuka laci meja riasnya. Diambilkan sebuah benda
lonjong dan agak panjang berwarna hitam dari dalam laci.
“Kamu
tahu benda apa ini, Sus?” Aku menggeleng. Mbak Santi menekan tombol
kecil berwarna merah di pangkal benda tersebut. Benda itupun dengan
mengeluarkan bunyi pelan “Nguungg…” bergetar dan ujungnya meliuk-liuk
seperti tubuh ular.
“Aaahhhh… Mbak Sintaaa… Jangaaaann….!”
Teriakanku terlambat. Benda hitam tersebut sudah disodokkan oleh Mbak
Sinta ke dalam liang kewanitaanku dengan susah payah, mengingat liang
kewanitaanku yang masih sempit dan belum pernah terjamah. Makin lama
makin dalam masuknya, sampai benda itu hampir masuk semuanya di dalam
lorong senggamaku yang terus berdenyut-denyut.
Mula-mula aku
merasakan sakit yang luar biasa di selangkanganku. Akan tetapi lama
kelamaan, getaran dan liukan-liukan yang ditimbulkan oleh benda lonjong
tersebut mengakibatkan sensasi kenikmatan yang tak tertandingi oleh hal
manapun di dunia ini. Secara tak sadar, secara refleks, aku
memutar-mutarkan pantatku mengimbangi liukan benda yang sedang
melakukan penetrasi dalam kewanitaanku itu. Dan Mbak Sinta pun mulai
mendorong dan menarik benda hitam tersebut di dalam liang kewanitaanku.
Tambah lama tambah cepat. Dan putaran pantatku juga semakin cepat pula.
Akhirnya dengan mendelik-delik aku mengejan.
“Aaahhh…” Dengan
lengkingan panjang, kumuntahkan seluruh cairan bening berwarna putih
yang sejak tadi antre untuk keluar dari liang kewanitaanku. Dibarengi
dengan darah yang juga mengalir dari sumber yang sama, menandakan
selaput daraku robek. Dan dengan terengah-engah aku membisikkan sesuatu
di telinga Mbak Sinta. “Mbak, sa… saya…. lelah sekali….” Aku pun
jatuh tertidur. Mbak Sinta tersenyum melihat keadaanku. Ah, kamu
curang, Sus, batinnya, kamu sudah keluar, aku membuka baju pun belum.
Perlahan-lahan
tanpa menimbulkan bunyi, Mbak Sinta bangkit berdiri dan menanggalkan
rok dan celana dalamnya. Lalu sambil berdiri, ia memasukkan benda hitam
panjang yang dipegangnya ke dalam liang kewanitaannya sendiri dengan
mudahnya, sebab liang kewanitaannya memang sudah cukup lebar, akibat
seringnya dipenetrasi oleh teman-teman bermain cintanya. Dengan sekali
sodokan, benda hitam itu sudah hampir masuk semuanya ke dalam
kewanitaan Mbak Sinta, menyisakan hanya dua sentimenter saja untuk
tempat tangan memegang.
Dengan ketrampilan yang tinggi, Mbak Sinta mempermainkan benda nikmat
tersebut di dalam liang sorganya sendiri. Diputar-putarnya serta
digesek-gesekkan benda itu dengan kecepatan yang mengagumkan. Makin
lama makin cepat namun tetap berirama, diiringi oleh gerakan tubuh Mbak
Sinta yang seperti terhentak-hentak lalu terhuyung-huyung.
“Ouuuhh…
Ahhh… Uuuhhh…!” Mbak Sinta menjerit-jerit keras, tetapi tidak cukup
keras untuk membuatku terjaga. Sementara tangannya tetap membabi-buta
di lorong senggamanya. Dan bertambah cepat saja disertai dengan tubuh
Mbak Sinta yang makin terhuyung-huyung. Akhirnya, Mbak Sinta
terjerembab lunglai di lantai dengan wajah penuh kepuasan. Tangannya
masih memegang benda lonjong hitam yang basah kuyup oleh cairan bening
kenikmatan yang mengalir dari liang kewanitaannya. Dan Mbak Sinta pun
menyusulku terlelap, di lantai.
Tiga malam aku menginap di rumah
Mbak Sinta. Dan pada setiap malam itu pula aku dan Mbak Sinta
mengulangi permainan cinta kita. Dan aku pun menjadi mahir
melakukannya, sehingga aku dapat memberikan pelayanan dan mengimbangi
permainan Mbak Sinta. Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama
terpuaskan.
Hari ini, satu bulan sudah sejak aku kembali ke
Jakarta, dan satu bulan sudah aku meninggalkan Mbak Sinta, meskipun
kita masih sering berhubungan lewat e-mail maupun pesawat telepon. Aku
pun merindukannya. Dan sepertinya aku kini tidak begitu tertarik lagi
pada laki-laki. Apakah ini yang dinamakan telah tumbuh benih-benih
cinta dengan kaum sejenis? Apakah aku telah berubah menjadi seorang
lesbian? Help me, please!,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT